Kedunguan itu bernama Muhammad
Fuad Riyadi. Dalam sebuah bincang-bincang daring secara gegabah, juga sengaja,
ia mengeluarkan statement yang amat tak etis terhadap Sayyid Idrus bin
Salim Al-Jufri atau yang populer dengan Guru Tua—pendiri Al-Khairaat.
Lalu datanglah gelombang
kemarahan. Tidak hanya dari mereka
yang lahir dan tumbuh-besar di lingkungan pendidikan Al-Khairaat (abnaul
khairaat), tetapi juga mayoritas masyarakat Sulawesi Tengah (dan sebagian Indonesia Timur) yang tahu
persis bagaimana rekam jejak Guru Tua dalam menyebar dakwah dan mengembangkan
pendidikan di masa lampau.
Hingga kini jejak-jejak itu
masih ada. Berdirinya ribuan lembaga pendidikan Al-Khairaat, mulai dari tingkat
SD hingga perguruan tinggi, yang itu tersebar di sebagian wilayah di Indonesia Timur
menjadi bukti betapa itu menetas dari tangan mulia bernama Guru Tua.
Kerja-kerja dakwah dan
pendidikan yang dipanggul oleh Guru Tua, tentu saja bukan kerja-kerja sehari, melainkan
sebuah ikhtiar sepanjang hayat. Dengan gerobak yang tertatih-tatih, berpuluh-puluh
tahun Guru Tua menyusuri kampung demi kampung di Sulawesi Tengah hanya untuk
sekadar memastikan bahwa Islam—agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW—sampai
ke tangan warga.
Ketabahan mana yang bisa
melebihi ketabahan orang tua yang keseluruhan hidupnya dilumuri ke-tawadhu-an
ini? Guru Tua, terlepas dari belum adanya teknologi informasi dan komunikasi
seperti sekarang ini, adalah sosok yang berdakwah dalam diam. Minim publisitas.
Kisah kepahlawanannya hanya berupa deret cerita yang itu berpindah dari mulut
yang satu ke mulut yang lain, juga turun-temurun dari generasi ke generasi.
Muhammad Fuad Riyadi, boleh
jadi, membuat statement yang gegabah itu karena melihat sosok Guru Tua
kerdil. Guru Tua tak ada dalam panggung besar diskursus ulama-ulama terkemuka
nusantara. Juga tak tampak kontribusinya terhadap negara dan bangsa.
Tetapi satu hal yang absen
dari ingatan Muhammad Fuad Riyadi adalah bagaimana kecintaan masyarakat Sulawesi
Tengah dan sebagian Indonesia Timur terhadap sosok Guru Tua. Tengoklah poster-poster
Guru Tua yang melekat di dinding-dinding rumah warga Sulawesi Tengah. Hampir di
semua rumah di Sulawesi tengah pasti terpampang foto orang tua penuh kharisma
itu.
Guru Tua bagi masyarakat Sulawesi
Tengah tidak hanya menjadi simbol ulama yang dicintai masyarakatnya. Tetapi,
jauh lebih dari itu, adalah monumen keteladanan yang darinya mengalir perilaku
yang bajik; telaga ilmu yang memancar hingga ke sudut-sudut tersempit wilayah
Sulawesi Tengah.
Juga tentu saja yang tak
boleh diabaikan: Penghormatan banyak tokoh, ulama, dan cendekiawan terhadap
Guru Tua. Sudah tak terhitung jumlahnya, tokoh, ulama atau cendekiawan yang
ketika pertama kali menjejak kaki di Palu, menjadi kewajiban baginya untuk
berziarah ke makam Guru Tua. Atau tatkala haul, yang tak berbilang jumlah warga
yang datang. Itu semua
adalah penanda bagaimana
Guru Tua ada dalam sanubari banyak orang. Guru Tua menjadi potret tegaknya kecintaan
masyarakat kepada ulama.
Jika dikonversi ke dalam teknologi digital sekarang,
poster-poster yang menempel di rumah warga atau yang datang tatkala haul merepresentasikan
jumlah pengikut atau yang menaruh hormat pada ketokohan Guru Tua. Mereka adalah
followers sejati Guru Tua, yang membangun fondasi kecintaan terhadapnya
berdasar nilai-nilai dan laku yang diamalkan. Ini tentu berbeda dengan sejumlah
pemuka agama masa kini—terlebih pada sosok seperti Muhammad Fuad Riyadi yang
mendaku diri sebagai Gus.
Ada adagium yang berlaku
pada segelintir pemuka agama dewasa ini, "Tangan kanan menggenggam microphone,
tangan kiri menyalakan kamera." Jika dibandingkan dengan pemuka agama seperti
ini, Guru Tua tentu saja ibarat langit dan bumi.
***
Lantas apa yang membuat Muhammad
Fuad Riyadi bisa dengan sangat sembrono melontarkan kata-kata yang tidak etis
terhadap Guru Tua?
Dalam dugaan saya ada dua: 1)
Ia tak memiliki banyak informasi soal ketokohan dan kiprah Guru Tua dalam
menjalankan misi dakwah dan pembangunan pendidikan di Sulawesi Tengah dan
sebagian Indonesia Timur.
Lebih parah lagi ia
meragukan nasionalisme Guru Tua. Guru Tua bahkan dipandang mendapatkan privilege dari Belanda karena diberi
tanah. Padahal semua tuduhan itu tidak benar. Tanah itu didapatkan oleh Guru
Tua dari berbagai sumber: Hibah dari penduduk lokal, dibeli secara pribadi,
maupun pemberian dari keluarga istri Guru Tua yang merupakan penduduk asli Kota
Palu (Kaili).
Mungkin Muhammad
Fuad Riyadi berharap, atau memberi definisi terhadap pahlawan, adalah mereka
yang menarik front perlawanan dengan Belanda secara fisik. Atau dengan kata
lain mengangkat bedil. Padahal dalam catatan sejarah, kemerdekaan bangsa
Indonesia dicapai dari hasil kerja bersama semua elemen masyarakat dari pelbagai
latar belakang. Mari kita ambil contoh Chairil Anwar. Chairil Anwar adalah
salah satu pahlawan nasional yang tidak turun langsung ke medan perang melawan
Belanda. Chairil Anwar dianggap berjasa bagi perjuangan kemerdekaan karena memproduksi
banyak puisi yang membangkitkan semangat heroisme dan nasionalisme.
2) Entah apa
yang kini membekap bangsa ini. Dewasa ini, memaki, menghina, atau menebar hoaks
dipilih oleh sebagian anak bangsa sebagai cara untuk mengekspresikan
ketidaksukaan terhadap orang lain dan perbedaan yang ada. Juga bagi para konten
kreator untuk meledakkan pertumbuhan followers
atau viewers. Menggunakan diksi-diksi
yang tak etis atau kotor menjadi cara pintas bagi seseorang untuk viral.
Tampaknya ini
yang dipilih oleh Muhammad Fuad Riyadi. Dengan memaki Guru Tua ia ingin
mengesankan dirinya sebagai sosok yang patriotik, garang, dan siap mati untuk
membela bumi pertiwi. Juga, tentu saja, menjadikan ia cepat dikenal oleh publik.
Jika dalam perdebatan-perdebatan yang ada ia menggunakan diksi yang biasa-biasa
saja pasti lambat diseminasinya.
Saya mengikuti—walau
tidak intens—percakapan atau kritik terhadap nasab Ba'alawi. Dalam konteks
tertentu, saya kira, wajar. Sejauh spektrumnya ilmiah, maka gugatan terhadap
apa saja bisa dilakukan. Ia menjadi amat keliru, jika metodenya seperti yang
dilakukan Muhammad Fuad Riyadi. Sudah tidak berbasis data, jauh dari
intelektual pula.
Inilah, yang dalam dugaan saya, ada di kepala Muhammad Fuad Riyadi ketika melontarkan kalimat yang tak etis terhadap Guru Tua. Ia tak berpikir panjang tatkala melontarkannya. Ia bahkan tak mengkalkulasi bagaimana dahsyatnya dampak yang ditimbulkannya—terutama dalam kaitannya dengan relasi umat dengan para ulama, yang di satu sisi dicintai oleh masyarakat Sulawesi Tengah dan di sisi lain menjadi kiblat Muhammad Fuad Riyadi.
Yang pasti, ketika gelombang kemarahan abnaul khairaat dan masyarakat Sulawesi Tengah itu bermuara pada pelaporan secara hukum, ia harus dipandang sebagai cara abnaul khairaat dan masyarakat Sulawesi Tengah mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap apa yang dilakukan oleh Muhammad Fuad Riyadi terhadap Guru Tua.
Selaiknya Muhammad Fuad Riyadi memiliki pilihan untuk menunjukkan ekspresi ketidaksukaannya terhadap orang lain, abnaul khairaat dan masyarakat Sulawesi Tengah juga harus diberi saluran untuk meruahkan rasa cinta dan hormat pada Guru Tua.
Dan ia, Muhammad
Fuad Riyadi, harus menerimanya.
4 Comments
Baarakallah
BalasHapus🙏🙏🙏
HapusMasya Allah. Terima kasih atas tulisan yang amat mencerahkan dan bernas ini. Semoga kita terus belajar sifat tawadhu dan ikhlas berjuang dan tak kenal lelah mencerdaskan umat dan bangsa ini, salah satunya yg telah dilakukan oleh Guru Tua. Allahu yarham
BalasHapusAmin. Sampai kapanpun Guru Tua adalah monumen keteladanan, telaga ilmu, yang karenanya kita mengenal ajaran Nabi Muhammad yang suci...
HapusPosting Komentar