Adagium, "Hal yang paling menyakitkan adalah direndahkan pada saat tak berpunya apa-apa," tampaknya berlaku benar.
Beredar video, Gus Miftah—seorang ustaz kenamaan—tengah mengata-ngatai seorang penjual es teh. Video ini viral di banyak platform media sosial. Saya sendiri melihatnya di Tiktok.
Saat kamera menangkap wajah bapak penjual es teh itu, betapa hati saya menjadi sangat terenyuh. Walau diungkapkan dengan maksud guyon—berdasarkan klarifikasi beberapa sahabat Gus Miftah—apa yang disampaikan Gus Miftah itu rasanya tetap tak pantas. Sungguh bercanda tak sebegitunya juga kali.
Tampak bapak itu hanya diam. Ekspresinya datar. Hanya matanya yang berkaca-kaca. Kita tak tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam hatinya. Malukah? Marahkah? Atau terhina? Sungguh ketakberpunyaan telah menyulam hatinya menjadi baja.
***
Di Indonesia, gejala kemiskinan telah melahirkan banyak bapak-bapak dengan kekuatan mental seperti bapak penjual es teh itu di hadapan Gus Miftah. Hidup mereka dipertaruhkan laksana di “meja judi”. Jika tak berjualan hari ini, maka tak makan. Bahkan berjualan sekalipun belum tentu itu cukup buat sekadar mengganjal perut mereka.
Itulah yang menyebabkan ada banyak anak-anak belia, bapak-bapak, ibu-ibu, yang berani mempertaruhkan nyawanya untuk dalih yang setara—walau sering klise: Bertahan hidup.
Di Jakarta, dahulu, sering kita lihat orang-orang yang bergelantungan di atas Kereta Rel Listrik (KRL) Jakarta-Bogor. Ini mereka pilih sebagai jalan pintas karena tak mendapatkan layanan transportasi publik yang memadai saat pulang-pergi mencari sesuap nasi. Atau anak-anak yang menjadi pengamen jalanan. Mereka mengambil risiko sewaktu-waktu bisa tertabrak kendaraan untuk sekadar mengumpul seribu-dua ribu uang receh. Atau pula, bisa kita saksikan, tidak sedikit bapak/ibu di pedesaan yang harus melewati jalanan terjal (berjurang) dan menyeberangi sungai yang berbahaya untuk bisa sampai ke ladang mereka.
Peristiwa-peristiwa itu, tentu saja, sukar kita bayangkan terjadi di Indonesia. Di sebuah negeri yang di masa lalu didirikan oleh sebagian ulama (seperti Gus Miftah) dengan tujuan untuk memerangi kemiskinan dan praktik perbudakan akibat bercokolnya kolonialisme/imperialisme asing.
***
Karl Marx—kurang dari 2 abad yang lalu—ketika menyaksikan gejala seperti di atas telah sampai pada satu kesimpulan: Ada yang salah dalam fundamen struktur ekonomi kita. Fundamen struktur ekonomi yang dianut oleh banyak negara.
Alih-alih menyebut bahwa kemiskinan yang diidap oleh seseorang adalah takdir yang harus ia jalani (sebagaimana tunjuk Gus Miftah kepada bapak penjual es teh), Marx berkeyakinan bahwa kemiskinan adalah akibat dari ketidakadilan ekonomi. Artinya, ia bersifat struktural. Bukan individual.
Ada sekelompok orang yang menguasai ekonomi dan mendapat nilai lebih (surplus value) dari orang lain (seperti penjual es teh). Sebaliknya, ada orang-orang se golongan dengan penjual es teh yang keringatnya diisap, tetapi tidak mendapatkan imbalan yang setimpal. Kelompok pertama disebut Marx sebagai borjuis (dalam term Al-Quran: mustakbirin) dan kelompok kedua adalah proletar (mustad’afin).
Dari sini Marx kemudian mengembangkan teori tentang kontradiksi kelas; bahwa untuk mencapai keadilan—suatu kondisi di mana penguasaan terhadap modal dan alat-alat produksi telah terbagi secara “sama-rata”—diperlukan perjuangan kelas. Maksudnya, kaum proletar harus “memberontak” dan merebut kekuasaan ekonomi dan politik dari tangan kaum borjuis. Sebab, hanya dengan cara itu, masyarakat tanpa kelas yang diidealisir oleh Marx bisa terwujud.
Sayangnya, perangkat analisis ini tak dimiliki oleh Gus Miftah dalam melihat bapak penjual es teh, dan tentu saja, gejala umum yang mendasari terjadinya kemiskinan di Indonesia. Gus Miftah tuna pemahaman tentang realitas ekonomi bangsa kita. Terlebih bagaimana cara mengatasinya.
Gus Miftah tidak tahu bahwa kemiskinan yang dialami oleh bapak penjual es teh itu bukanlah sesuatu yang natural. Apalagi takdir. Artinya berlangsung sebagaimana adanya, dan ia kehendaki karena memang demikian digariskan oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Tentu saja tidak. Sebab, tak ada satu pun orang yang ditakdirkan Tuhan hidup dalam kondisi dibelit kemiskinan.
Juga gejalanya bersifat individual. Karena ada banyak penjual es teh yang memiliki nasib yang sama dengan penjual es teh yang dikata-katai Gus Miftah. Gus Miftah alpa bahwa apa yang dialami bapak penjual es teh itu adalah konsekuensi logis dari dianutnya suatu sistem ekonomi yang kapitalistik oleh negara kita.
Dengan kata lain, ada kelalaian negara di sini—dalam hal menunaikan hajat hidup rakyatnya. Kita tahu persis, kapitalisme sebagaimana teriak Marx, adalah sistem ekonomi yang paling tidak adil. Cerita tentang invisible hand, tangan-tangan tak terlihat yang akan meneteskan kemakmuran kepada banyak orang, seperti sering didongengkan oleh Adam Smith tak pernah terbukti.
Yang terjadi adalah sebaliknya: orang-orang yang diuntungkan secara ekonomi itu akan terus mengakumulasi kapital. Sehingga mereka yang sudah kaya akan makin bertambah kaya lagi. Lama kelamaan, ia membentuk mata rantai oligarki—sesuatu yang hari-hari kemarin sempat kita persoalkan dengan sangat keras.
Berdasarkan data Credit Suisse, seperti dikutip Bhima Yudhistira dalam Tribunnews.com (11/02/24), “Sejumlah 10 persen orang terkaya Indonesia menguasai 75,3 persen total kekayaan secara nasional. Angka ini diperkuat oleh ketimpangan kepemilikan tabungan di perbankan yang ekstrem antara orang kaya dan miskin.”
Dari data ini tampak jelas bagaimana ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin begitu menganga lebar di negara kita. Dan itu, sialnya, mungkin tidak pernah dibaca sama sekali oleh Gus Miftah. Sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, Gus Miftah harusnya memahami benar positioning agama dalam penyelesaian masalah-masalah bangsa.
Telah lama diskursus tentang kerukunan beragama beranjak pergi: dari sekadar dialog antar iman (teologi), toleransi, pemahaman-bersama menjadi aksi nyata (secara bersama) untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi di sekitar. Dalam konteks ini, semangat untuk menumbuhkembangkan kerukunan tidak berhenti pada tataran terbangunnya kesepahaman di antara penganut beragama untuk saling menghargai perbedaan saja, tetapi lebih dari itu, bagaimana energi yang dimiliki oleh semua penganut agama—yang itu jumlahnya besar—diarahkan untuk mengatasi problem-problem semisal kemiskinan, tingginya angka pengangguran, ketidakadilan, dan lain sebagainya (baca: Abad Badruzaman, Dari Teologi Menuju Aksi, Pustaka Pelajar, 2009).
Jadi, idealnya, agama tidak sekadar menawarkan wacana tentang “jalan keselamatan”—terlebih kelak untuk akhirat saja, tetapi bagaimana bisa bergerak fungsional; turun tangan, menyelamatkan umat manusia dari belenggu kehidupan sosial yang tidak berpihak padanya.
Itulah, yang dalam hemat saya, harusnya ada di kepala Gus Miftah dalam melihat bapak penjual es teh, dan masalah-masalah yang membelit bangsa kita di hari-hari kini dan esok. Gus Miftah, tidak saja harus lebih bisa menunjukkan empati kepada orang-orang yang tak berpunya, tetapi lebih dari itu, mutlak terbit kesadaran pada dirinya untuk memandang masalah bangsa ini secara lebih komprehensif lagi.
Kemiskinan bapak penjual es teh itu bukan kesalahan dia sendiri. Tapi ada kelalaian kita secara kolektif (sebagai sebuah bangsa) di dalamnya. Termasuk Gus Miftah.
Berikutnya, kita berharap kekhilafan-kekhilafan seperti ini sebisa mungkin tidak terulangi lagi, agar perasaan kita sebagai sesama anak bangsa yang jauh lebih sering mengalami penderitaan daripada bahagia tidak lebih terkoyak-koyak lagi.
(4 Desember 2024)
0 Viewers
0 Comments
Posting Komentar