Entah kenapa, tergerak untuk menulis-kembali semacam risalah tentang pemikiran Ali Syariati. Bahan-bahannya lagi saya kumpulkan—baik itu buku-buku yang ditulis/transkrip ceramah langsung oleh Ali Syariati atau elaborasi orang terhadap pemikiran Ali Syariati.
Tahun 2000—di awal-awal menginjakkan kaki di Kota Palu—bertemu dengan pemikiran Ali Syariati. Awalnya melalui kawan-kawan di HMI, lalu buku. Hingga kini kalau ditanya siapa di antara pemikir Islam yang paling saya kagumi, pasti saya akan jawab: Ali Syariati.
Ali Syariati menjungkir-balikkan pemahaman (tradisional) saya terhadap Islam. Lama saya memaknai bahwa Islam tak lebih dari sekadar urusan ritual belaka. Penyembahan secara total terhadap Allah Swt melalui pelaksanaan ibadah-ibadah yang sudah ditentukan-Nya.
Ali Syariati datang dengan tafsir progresif—atau bahkan revolusioner—terhadap Islam. Ada banyak bagian-bagian menarik, sekaligus berbeda, yang disajikan Ali Syariati dalam keseluruhan lanskap pemikiran Islam yang ia bangun.
Sebutlah bagaimana ia memberi makna terhadap kalimat Tauhid. Tauhid dalam perspektif Ali Syariati tak hanya sekadar persaksian atau pengakuan atas keesaan Allah Swt dan kenabian Muhammad Saww, tetapi juga sekaligus adalah pandangan-dunia (world view).
Dengan pandangan-dunia inilah umat Islam memahami bagaimana relasi Tuhan, manusia, dan alam semesta. Juga bagaimana individu Islam memandang kehidupan ini, dan apa tanggung jawab sosialnya. Jadi kalimat Tauhid dalam pandangan Ali Syarati memiliki proyeksi sosial yang tiada sedikit.
Atau bagaimana ia membawa peristiwa Habil dan Qabil—dua anak Nabi Adam as. yang saling berbunuhan—ke dalam sebuah kesadaran kelas, sebagaimana teori pertentangan kelas Marx. Kata Ali Syariati, peristiwa Habil dan Qabil sesungguhnya harus dilihat sebagai sebuah pertarungan antara kelas tertindas (yang diwakili Habil) dan kelas penindas (yang diwakili Qabil).
Jadi, peristiwa Habil dan Qabil tak boleh dilihat sebagai kejadian masa lalu saja. Atau bersifat individual anak Nabi Adam as saja. Tetapi ia laten terjadi. Artinya akan terus berlangsung, tidak saja hari ini tapi juga di masa akan datang. Ia menandai keabsahan dialektika historis Marx.
***
Membayangkan Ali Syariati mengisi ceramah dan diskusi di banyak tempat di Iran—yang diisi oleh ratusan, atau bahkan, ribuan anak-anak muda—membayangkan bagaimana Soekarno dulu di hadapan anak-anak muda Indonesia.
Ada kesamaan yang nyaris antara Syariati dan Soekarno: orator, provokatif, dan anti kemapanan (termasuk kemapanan dalam pemahaman agama). Jika Ali Syariati dalam banyak ceramahnya mengkritik dominasi kaum ulama tradisional Iran (Mullah), Soekarno bahkan menulis satu buku khusus yang ditujukan untuk menelanjangi pemahaman yang cenderung mitologis dalam tubuh umat Islam Indonesia. Judulnya Islam Sontoloyo.
Sementara Murtadha Muthahhari—karib Ali Syariati di Husainiyyah Irsyad—bisa diibaratkan sebagai Mohammad Hatta di lingkaran perkawanan Soekarno. Murtadha Muthahhari, sebagaimana Mohammad Hatta, lebih teduh, intelektual, dan tidak berapi-api.
Narasi-narasi yang dibangun oleh Syariati sangat kental dengan aksentuasi ideologis, sementara Murtadha Muthahhari lebih epistemologis. Mendalam, komprehensif, dan bernas.
Jika Syariati berceramah sangat berapi-api, retorik, juga puitis, maka Murtadha Muthahhari mengisi majelis-majelis ilmu dengan keteduhan yang tiada tara, sistematis, dan ilmiah.
(23 Juni 2024)
0 Comments
Posting Komentar