Bisakah
kita menjadi Islam sekaligus Indonesia, atau menjadi Indonesia tanpa perlu
risau dibilang tak Islam?
Meme soal Salam Pancasila, segera saja beredar seusai Kepala BPIP, Prof. Yudian Wahyudi, mengutarakan pendapat bahwa musuh Pancasila adalah Agama, dan mengusulkan penggantian ucapan Assalamu Alaikum menjadi Salam Pancasila.
Bagi kalangan yang tak mau ruwet berpikir soal bangsa, pernyataan Prof. Yudian ini direspons dengan main-main saja. Mereka bikin meme tentang itu. Semua lucu, namun menggelitik—satire. Panggung parodi dibentangkan. Parodi menjadi semacam arena perlawanan terhadap 'ketidakwarasan' yang dewasa ini kerap menghantam negeri ini secara bertubi-tubi. Parodi menjadi sebentuk perayaan atas kegilaan massal.
Tetapi, bagi kalangan yang serius, pernyataan ini disikapi secara serius pula. Terlepas dari pro dan kontra; ada pihak yang menyatakan bahwa, jika mau jujur memang benar (kelompok radikalis-ekstrimis) agama menjadi musuh bagi Pancasila. Musuh bagi NKRI yang kita cintai ini. Dan ada pula yang berpandangan sebaliknya, ini adalah penghinaan terhadap agama. Tetapi, sejatinya, polemik ini meruahkan semacam ketegangan yang belum usai antara negara (state) dan agama.
Rocky Gerung, intelektual-cum-aktivis yang kesohor beberapa tahun terakhir ini, misalnya, menyebut bahwa masih seringnya terjadi ketegangan antara negara dan agama, tidak lain disebabkan oleh tak terselesaikannya perdebatan (konflik) soal ideologi negara di masa lampau—di masa para founding father menyusun puzzle bernama Indonesia ini. Dan sialnya, konflik ini laten. Relasi antara negara dan agama akan terus berada pada situasi pasang-surut, selama ini tak diselesaikan.
Demikian katanya.
Ekspresi Kultural
Ide tentang Salam Pancasila, bagi saya, memperlihatkan adanya arogansi (atau boleh jadi: kegenitan) rezim yang ada untuk terus mengusik wilayah ini. Relasi antara negara dan agama masih ditempatkan dalam posisi yang berhadap-hadapan (vis a vis). Negara di wilayah yang satu, agama di wilayah yang lain. Dan keduanya tak bisa bersatu. Binary Opposition.
Prof. Yudian melakukan kecerobohan (walau saya tak yakin benar, mengingat kapabilitas keilmuannya yang sangat mumpuni) dengan mewacanakan penggantian salam, sebab: satu, Islam kebanyakan, yang tumbuh-berkembang di Indonesia adalah Islam yang telah mengalami dialektika yang panjang dengan budaya lokal Indonesia. Islam telah berakulturasi (dengan dialog dan damai) dengan lokalitas yang didatanginya. Sederhananya, Islam yang datang di Indonesia telah menjadi Islam Indonesia.
Ada banyak kawan saya, yang kebetulan beragama non-Islam, ketika menelepon saya mengucapkan Assalamu Alaikum. Atau ketika kaget berucap: Astagfirullah. Juga acap menyebut Subhanallah ketika takjub. Bagi mereka, ucapan Assalamu Alaikum tidak lagi mewakili simbol dan bahasa agama (Islam). Mereka bisa dengan fasih dan santai mengucap salam itu tanpa harus was-was terpengaruh dengan Islam. Dengan kata lain, salam Islam ini telah menjadi ekspresi dan bahasa kultural semua warga yang mendiami wilayah Indonesia.
Dua, upaya simplikasi kalimat guna menegaskan sebuah pernyataan, dalam diskursus akademik adalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Lihat saja ketika Gus Dur berujar: Tuhan tak perlu dibela. Atau Ulil Abshar Abdalla ketika memberi judul tulisannya: Membakar Rumah Tuhan. Semua tampak biasa-biasa. Tak ada yang menakutkan. Sebab, dalam ruang akademik tak ada yang 'terlarang' untuk didiskusikan.
Tetapi, ketika itu memasuki ruang publik kita mutlak hati-hati. Apalagi jika yang menyampaikannya adalah pejabat publik. Tentu harus lebih ditimbang matang-matang. Sebab, implikasinya pasti luas. Level pengetahuan dan kesadaran keberagamaan tiap-tiap orang berbeda. Oleh karena itu, berucap sembrono walau dengan tujuan benar, belum tentu baik untuk dilakukan.
Hadangan
Memang, problem ketegangan-relasional antar negara dan agama hanya bisa diselesaikan dengan adanya keberbesaran hati untuk menerima kedua entitas ini untuk hidup dan tumbuh-berkembang secara sederajat. Di sini dan kini. Kedua-duanya harus diletakkan sebagai dua sisi integral yang tak bisa dipisahkan.
Agama harus diposisikan sebagai kenyataan sejarah yang telah banyak membentuk dan menjadi tulang punggung berdirinya nation-state. Sebaliknya, negara harus dipahami sebagai taman yang memungkinkan bunga bernama agama mekar di dalamnya.
Dalam amatan saya, memang ada dua kelompok (atau cara pandang) yang selalu menjadi hambatan bagi ikhtiar ini: 1) Kelompok/cara pandang radikal-ekstrimis. Cara pandang radikal-ekstrimis adalah cara pandang keagamaan yang dibentuk oleh ideologi puritan. Bahwa Islam yang autentik itu adalah Islam masa lalu. Di sini, autentisitas dipahami sebagai sesuatu yang given. Tak tumbuh—atau menjadi (becoming) dalam istilah Erich Fromm.
Oleh karena itu, sebagaimana sering kita saksikan, kaum puritan selalu mengagendakan proyek pengembalian Islam ke masa lalu. Kata Kuntowijoyo, logikanya adalah: dari konteks ke teks, bukan dari teks ke konteks. Islam adalah apa yang dipraktekkan oleh nabi, para sahabat, dan orang-orang saleh terdahulu (salafus shalih). Selain itu bukan. Dan, apa-apa yang diadakan adalah bidah.
Padahal, jika ditelaah, Islam yang kini hadir di Indonesia (atau bahkan pada zaman nabi sekalipun) tidaklah hidup di ‘ruang hampa’ sejarah. Islam mengalami persentuhan dengan norma, kebiasaan, simbol, maupun budaya yang telah ada sebelumnya. Begitupun di Arab Saudi. Islam datang, dengan mau tak mau, harus menerima norma, kebiasaan, simbol, maupun budaya yang telah ada sejak zaman pra-Islam.
Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa: yang dilakukan nabi bukanlah membuang tradisi, kebiasaan, maupun budaya pra-Islam, tetapi merevitalisasi atau memberi pemaknaan baru atas tradisi, kebiasaan maupun budaya yang dianggap positif bagi Islam. Ia sebentuk kreolisasi—merujuk kepada Khomi Bhaba.
Jadi, sesungguhnya, (bahkan) Islam yang dinubuatkan oleh nabi juga adalah Islam yang terhibridasi. Islam yang tidak autentik, tidak genuine—jika kita mendefinisikan autentisitas sebagai tercemar atau tidaknya sebuah agama oleh norma, kebiasaan, simbol, atau budaya setempat.
2) Kelompok/cara pandang nasionalis-sekularistik. Cara pandang nasionalis-sekularistik adalah cara pandang yang menempatkan nation sebagai segala-galanya dan berusaha menjauhkan negara dari agama. Nasionalisme tak masalah. Sebab agama, semisal Islam, juga menganjurkan penganutnya untuk cinta kepada tanah air.
Tetapi yang jadi problem, jika mensupremasi nation di satu sisi, dan di sisi lain memusuhi agama. Ini misalnya, dapat dilihat dari gerakan privatisasi agama. Agama dipinggirkan sekadar menjadi urusan personal semata. Agama adalah soal ibadah kepada Tuhan: salat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain. Agama tak diberi ruang untuk bicara soal keadilan, kemanusiaan, kemiskinan, dan lain sebagainya. Padahal inilah ruh semua agama-agama.
Penutup
Idealnya, sudah tak ada lagi problem antara negara dan agama. Dibutuhkan dialog yang berkelanjutan untuk mengubur ketegangan antara dua entitas ini. Negara dan agama mutlak untuk saling terbuka dan mau merangkul satu sama lain.
Kerisauan bahwa menjadi Indonesia berarti menghilangkan keislaman kita, dan sebaliknya menjadi Islam maka tak perlu berkomitmen atas keindonesiaan kita, dengan demikian, harus dibuang jauh-jauh.
Agama harus menjadi pelengkap bagi negara, dan negara harus menjadi rumah yang baik bagi agama. Hanya dengan cara itu, kita bisa dengan bangga menyebut: Kita adalah Muslim Indonesia.
(26 Februari 2020)
0 Viewers
0 Comments
Posting Komentar