Apakah
buku bagi kita?
28 Januari 1935. Satu persatu Hatta menghitung peti yang turun dari kapal. Ia baru saja tiba di Digul. Tempat ia akan diasingkan untuk waktu yang tak diketahuinya.
Total peti yang dibawa Hatta ada 16. Semua berisi buku. Sebelumnya, butuh waktu 3 hari bagi Hatta untuk mengepak buku-bukunya untuk kemudian dibawanya ke Digul dengan kapal, Albatros.
Hatta memang dikenal pecinta buku. Itu mungkin karena ia memang hobi membaca. Kutu buku. Mohammad Bondan, kawan Hatta, pernah berkelakar ketika menyaksikan buku-buku Hatta itu. “Anda ke sini dibuang atau mau buka toko buku?” kata Bondan, sebagaimana diceritakan dalam “Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan.” Saat itu Hatta baru saja tiba di Digul.
Bagi Hatta, buku memang menjadi segala-galanya. “Jangan pernah pisahkan Hatta dengan buku-bukunya,” kata Iwa Kusumasumantri, kawan Hatta lainnya. Di rumah, di perpustakaan pribadinya, Hatta acap menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca. Kebiasaan ini berlanjut bahkan ketika Hatta sudah berusia senja sekalipun.
Akibat kebiasaannya ini, tidak heran bila kemudian Hatta menjelma pemikir par excellence bangsa di zamannya. Pikiran-pikirannya jernih. Gagasan-gagasannya melampaui zaman. Nalarnya cerdas. Ia tak hanya unggul dalam teori, tetapi juga menguasai secara detail problem bangsa. Pada dirinya berpadu kecakapan seorang pemimpin dan kecerdasan seorang cendekiawan.
Kelak—sebagaimana sejarah mencatat—bila Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden pada Desember 1956, itu tidak lain karena buku. Iya, perkara buku. Bagi Hatta, ia sudah tidak sejalan dengan Soekarno. Kawan dwi-tunggal proklamator sekaligus Presiden RI pertama itu, oleh Hatta dianggap telah mengangkangi buku-buku yang ia baca. “Karno berubah. Ia bukan Karno yang dulu lagi,” kata Hatta. Pilu.
Soekarno lupa, Hatta di samping sosok yang cerdas, juga lurus. Ia konsisten. Selain itu, tentu saja: sederhana. Bila pikiran-pikirannya; buah dari setumpuk buku yang ia baca; tak diperlukan lagi, buat apa ia bertahan di singgasana Wakil Presiden. Hatta memilih mundur.
Suatu ketika, Hatta melancarkan kritik kepada Soekarno. Itu berkaitan dengan naiknya tarif listrik. Hatta menulis, “kita selalu berkaok-kaok tentang sosialisme, tentang menuju adil dan makmur, tetapi tindakan yang diambil oleh pemerintah berkebalikan dengan itu” (Hatta: Aku Datang karena Sejarah, hal. 297). Soekarno berang. Hubungannya dengan Hatta semakin renggang.
Sebelumnya, karena tulisannya pula, Hatta diberhentikan dari UGM—tempat ia mengabdi, berbagi ilmu, selepas dari jabatan Wakil Presiden. Hatta menyorot soal kebijakan koperasi yang dijalankan di bawah rezim Demokrasi Terpimpin. Soekarno tak terima. Dan hasilnya, sebagaimana bisa ditebak, Hatta usai bertugas di UGM.
Kritik Hatta terus menyebar. Ia tak pernah surut. Walau banyak pihak menyayangkan rusaknya hubungan dua tokoh bangsa itu, tapi Hatta tak bergeming. Baginya, Soekarno kian jauh melenceng. Oleh karena itu, perlu untuk diingatkan.
Adalah tugasnya, sebagai orang yang pernah bersama-sama Soekarno menegakkan bangsa ini, melalui momen Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, untuk mengingatkan. Ia tak peduli, kalaupun ia harus dijauhi. Itu sudah menjadi resiko.
Hatta telah mengalami banyak kepedihan dalam hidup, dalam memperjuangkan kemerdekaan RI. Sehingga, jangankan godaan kekuasaan, bahkan “pengasingan” sekalipun telah siap ia terima.
Hatta lebih mencintai buku-bukunya.
(06 November 2018)
0 Viewers
0 Comments
Posting Komentar