"...hidupnya hanya berjuang, menderita, dan berkorban untuk menciptakan, supaya rakyat Indonesia merdeka dalam segala tindasan. Dia meninggal dengan tiada mencapainya. Dia berjuang untuk Indonesia Merdeka, melarat dalam perjuangan Indonesia Merdeka, ikut serta membina Indonesia Merdeka, tetapi dia sakit dan meninggal dunia dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka..."
(Pidato Hatta saat pemakaman Sjahrir)
Dua tahun lalu, kayaknya, saya sempat menulis soal seteru satu guru; yakni bagaimana silang sikap dan pemikiran antara tiga sekawan: Soekarno, Musso, dan Kartosoewirjo. Tulisan itu diinspirasi--semacam 'reviu' saja, bukan resensi karena tak memenuhi kaidah-kaidah penulisan resensi--oleh, "Seteru 1 Guru: Novel Pergulatan 3 Murid Tjokroaminoto: Soekarno, Musso, Kartosoewirjo", karya Haris Priyatna.
Pagi tadi--pukul 03.00 Wita--seusai menamatkan novel, "Hatta: Aku Datang Karena Sejarah", saya terpanggil untuk menuliskannya juga. Novel ini tidak saja memperkaya referensi, tetapi juga kesadaran. Tidak saja memantik asa, tapi juga menyelip luka. Tidak sekadar berkisah bahagia, tetapi juga sekaligus membeber pilu.
Setidaknya ada dua momen--dan tulisan ini hendak memotret dua momen itu saja--yang membuat, sumpah, bulir-bulir air mata saya tak terbendung. Menetes deras. Ada banyak peristiwa yang melingkupi perjalanan hidup Hatta, tetapi inilah yang paling menyentuh (menurut saya). Amat menyayat. Subuh tadi adalah subuh tersedih yang saya rasakan selama membaca novel kepahlawanan.
Dulu, seingatku pernah sekali menangis, kala membaca kisah kepahlawanan Imam Husain a.s. dalam novel, "Husain Sang Kesatria Langit", karya Muhsin Labib.
Momen pertama adalah momen ketika Hatta mendapat kabar Sjahrir meninggal dunia. Dia tak menyangka bahwa begitulah akhir hidup Sjahrir. Kawan yang menjadi 'pelengkap' derita kala sama-sama menuntut ilmu di Belanda, di pembuangan Boven Digul, Banda, hingga memerdekakan Indonesia. Kawan yang, bersama-sama Soekarno, menjadi tulang punggung kemerdekaan. Kawan yang tidak sekadar kawan.
Sjahrir meninggal dunia dalam posisi sebagai tahanan politik Soekarno. Setelah tak kuasa melawan penyakitnya (pendarahan otak), ia menutup usianya pada 9 April 1966. Sebelumnya Sjahrir dituduh sebagai dalang teror pembunuhan Soekarno di Makassar tahun 1962.
Sergius Sutanto, penulis novel ini, menuturkan: Berminggu-minggu, Hatta berduka. Kecewa seakan tak bisa rapat tertutup di ruang jiwanya, melihat nasib tragis yang menimpa si Bung Kecil (hal. 330). Saat pemakaman, dengan getir ia berpidato, "...apakah wafatnya Sutan Sjahrir ini bukan suatu tanda yang ditunjukkan Tuhan kepada kita untuk membuka mata, bahwa pemerintahan negara kita, di bawah pengaruh pengikut-pengikut Gestapu dan anasirnya serta kaum kabir (kapitalis birokrat), sudah jauh menyeleweng ke jalan yang salah?"
Momen yang kedua, adalah jelang wafatnya Soekarno. Kalau bicara soal sakit hati atau kecewa terhadap Soekarno, Hatta pastilah sakit hati dan kecewa. Itu tak ia pungkiri. Terhitung sejak mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden pada 1 Desember 1956, Hatta merasa bahwa perbedaan antara dia dan Soekarno semakin tajam saja. Ia merasakan bagaimana Soekarno yang sekarang berbeda jauh dengan Soekarno dulu; Soekarno yang dikenalnya selepas kuliah dulu; Soekarno yang mengancam tidak mau membaca naskah proklamasi jika tak ada Hatta di sampingnya.
19 Juni 1970, Hatta mendapat kabar Soekarno sakit. Kritis. Bergegaslah ia ke rumah sakit. Di sana ia mendapati kawannya itu tengah terbaring lemah. Soekarno tak segagah dulu. Wajahnya membengkak dan rambutnya menipis.
"Mengapa cepat sekali berubah, No?" Batin Hatta.
Sesaat kemudian Hatta menggenggam tangan Soekarno. Hanya terucap, "Oo, Hatta, kau ada di sini..." dari bibir Soekarno. Selebihnya, tersisa air mata yang menggenangi wajah Soekarno. Dan Hatta.
Dua hari kemudian, tepatnya tanggal 21 Juni 1970, Soekarno meninggalkan Hatta untuk selama-lamanya.
Soekarno, Hatta, dan Sjahrir adalah kawan. Mereka pernah dipersatukan oleh perjuangan: memerdekakan Republik Indonesia dari cengkeraman penjajah. Tetapi kemudian perbedaan pendapat, cara pandang, dan sikaplah yang memisahkan mereka. Kawan menjadi 'lawan'.
Di penghujung usia, alasan kemanusiaanlah yang kemudian mempertemukan mereka kembali. Laiknya Khalil Gibran, "Adakah alasan yang lebih baik dalam mempertemukan dua orang yang terpisah, selain ajal?"
Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, telah melakoni hidup masing-masing. Mereka kerap saling silang pendapat. Berbeda sikap. Acap biasa, tapi acap pula tajam. Acap mewujud kata-kata, tapi tak jarang berbuah pertengkaran. Tetapi begitulah. Bagaimanapun sejarah pernah mencatat, dari perkawanan merekalah terlahir Indonesia ini. Iya, mereka adalah kawan, sampai kapan pun.
(2 September 2018)
0 Comments
Posting Komentar