Jelang bulan ramadan kali ini, ada satu peristiwa yang benar-benar mengusik saya, "Seorang anak di Pati, Jawa Tengah, di arak warga karena ketahuan mencuri pisang." Berita ini tersebar di mana-mana. Saya sendiri menontonnya di Tiktok. 

Berita ini viral, tatkala Presiden kita, Prabowo Subianto, di banyak kesempatan berpidato dengan berapi-api: Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai angka 8 persen. Atau, ekonomi Indonesia tidak lama lagi akan tembus peringkat 8 atau 9 dunia.

Sebuah ironi tengah kita tonton. Di tengah nyala optimisme para pemimpin negara kita tentang kebangkitan ekonomi Indonesia, ada rakyat yang terpaksa mencuri pisang karena kelaparan. Anak itu, ketika ditanya memberi jawaban memilukan: Saya mencuri untuk makan adik-adik saya. Anak itu, dan adik-adiknya, adalah yatim-"piatu". Ibunya meninggal 7 tahun yang lalu, sementara ayahnya pergi entah ke mana.

Kemiskinan atau kelaparan yang melanda sebagian besar rakyat kita sejatinya adalah gejala sehari-hari. Ia adalah kenyataan yang tak jauh dari kita. Ia adalah kisah buram yang melingkupi kehidupan sosial kita. Bahkan di hadapan istana negara—yang mewah sekalipun itu—jika kita perhatikan, saban hari, lalu lalang mereka yang tercekik kelaparan. 

Gejala kemiskinan atau kelaparan di Indonesia telah menjadi sesuatu yang bersifat sistemik. Artinya ada problem yang bertalian dengan kebijakan negara di situ. Para pemangku kepentingan (stakeholders) harus membuka betul mata dan hati mereka terhadap situasi ini. 

Boleh jadi, memang ada masalah kemiskinan dan kelaparan yang diakibatkan oleh budaya kita. Rendahnya etos kerja, misalnya. Tetapi tanggung jawab untuk menghadirkan lapangan pekerjaan, membuka akses ekonomi yang adil dan seluas-luasnya kepada seluruh lapisan masyarakat, adalah hal yang pokok. Itu adalah tugas negara, dan karena itu pemerintah diserahi amanah oleh rakyat. 

Negara harus menjamin kemakmuran rakyat, begitu perintah UUD 1945.

Telah lama kita bicara bahwa negara kita ini tidak kekurangan Sumber Daya Alam (SDA). SDA kita malah sebaliknya, berlimpah. Kita juga tidak miskin tenaga profesional, para teknokratik, yang bisa menyulam potensi yang ada menjadi sumber pendapatan negara. Penyakit negara kita adalah salah urus (mis-management). Dan itu fatal.

KKN dan oligarki adalah dua sumber malapetaka bangsa. Ini yang susah kita urai hingga sekarang. Hukum kandas, terutama jika itu menyangkut para pembesar negeri ini. Sementara, politik ekonomi kita tidak berdaya ketika itu menyasar bisnis para konglomerat. Indonesia menjadi negeri para bedebah, tulis Tere Liye sebagai judul sebuah novelnya.

***

Hari ini, ketika kita menyambut ramadan dengan penuh suka cita, ketika kita beramai-ramai saling berbagi ucapan selamat menjalankan ibadah puasa— disertai dengan foto lagi tersenyum semringah dan dibalut pakaian religius—apakah makna puasa bagi anak yatim-"piatu" pencuri pisang itu? Apa makna puasa bagi anak-anak yang kehilangan sandaran hidup seperti mereka, juga orang-orang yang didera kelaparan setiap harinya?

Puasa tak hanya bermakna ruhani. Puasa juga adalah ibadah sosial. Puasa memang dimaksudkan oleh Allah SWT sebagai jalan bagi setiap individu muslim untuk memperbaiki diri; meningkatkan keimanan. Di dalamnya ada perintah untuk menahan haus dan lapar, mengendalikan hasrat biologis, dan menahan amarah, tetapi jauh lebih dari itu, puasa hendak memberi kita pelajaran: Bagaimana empati ditumbuhkan, bagaimana kita turut merasai suasana batin orang-orang yang saban hari memanggul penderitaan.

Dari situ kemudian diharapkan terbit kesadaran sosial. Sebuah sikap yang ditandai dengan keinginan untuk turut serta membangun kehidupan sosial yang bajik, penuh welas asih, ditumbuhi oleh solidaritas antar sesama, dipayungi oleh nilai-nilai luhur, dan lain sebagainya.

Dan bagi para pemangku jabatan, proyeksi sosial dari puasa ini akan terlihat pada bagaimana ia mengelola negara ini, bagaimana ia memanfaatkan amanah publik yang ia pegang untuk kemaslahatan rakyat kebanyakan, dan bagaimana ia tidak hanya berupaya untuk memacak tiang amar makruf tetapi juga sekaligus nahi mungkar di tengah gelombang kejahatan yang mengintip setiap sudut negeri ini.

Bagi saya di sinilah esensi puasa. Puasa harus menjadi sumbu perbaikan sosial. Bagi anak-anak senasib dengan si yatim-"piatu" pencuri pisang itu, apalah makna puasa jika ritual ini sepanjang hayat telah mereka lakoni. Mereka tak perlu menunggu ramadan untuk menjalankan puasa. Hari-hari mereka telah dibekap oleh haus dan lapar.

Jika ibadah puasa hendak mendidik mereka agar bisa menahan haus dan lapar bukankah sejak ari-ari mereka di tanam di bumi pertiwi ini, mereka telah merasakan bagaimana sulitnya mendapatkan sesuap nasi? Dan, jika puasa itu ditujukan untuk mengendalikan hawa nafsu (amarah) bukankah mereka selama ini telah begitu sabar, begitu tabah, dan memilih diam, melihat perilaku bejat para pemimpin negeri ini?

Ketabahan apalagi yang melebihi ketabahan orang-orang yang hidupnya dililit kemalangan ini.

Puasa harus bisa menyentuh dimensi lebih luas dari struktur sosial kehidupan ini, yakni negara. Nilai-nilai puasa harus menjadi spirit penyelenggaraan negara. Beratnya menahan lapar dan haus yang karena itu ibadah puasa diperintahkan, harus menjadi titik start untuk sesegera mungkin bertindak mengentaskan kemiskinan. 

Adanya peristiwa anak yatim-"piatu" yang mencuri pisang ini adalah bukti bagaimana negara lalai dalam mengurusi perkara paling asasi bagi manusia, yakni terbebas dari rasa lapar dan adanya kesempatan untuk mendapatkan hidup yang layak—sebagaimana orang lain. 

Ibadah puasa itu tidak gampang. Tidak semua orang bisa menjalankannya. Oleh karena itu, ia hanya diperintahkan kepada mereka yang mampu saja. Selain dari itu tidak. Praktik oligarki, yang menjadi cermin dan simbol keserakahan manusia—yang  itu ditentang betul oleh ibadah puasa—harus bisa diputus oleh negara. Begitu pun dengan aneka tindak culas dalam mengumpul kekayaan, harus bisa dihentikan oleh negara.

Hidup, dalam spektrum terdalam ibadah puasa, tidak hanya sekadar memburu kebutuhan material belaka, tetapi melayani kemanusiaan: Mencegah kelaparan dan menyelenggarakan negara dengan sebaik-baiknya.

(1 Maret 2025)

0 Viewers