Bulan ramadan ini, Anies Baswedan berkeliling kampus. Ia sudah mendatangi UGM dan ITB. Ia berceramah di masjid-masjid kampus yang ia kunjungi itu. Lalu datanglah suara sumbang. Kekuasaan gerah dengan ceramah-ceramah Anies.
Dari lingkar terdekat kekuasaan muncul gelegak, "Jangan jadikan masjid sebagai tempat untuk melakukan sindiran politik." Itu disampaikan oleh Raja Juli Antoni—Menteri Kehutanan saat ini.
Anies membalasnya, "Jika ada yang mengira masjid hanya untuk tempat sujud dan berdoa, itu keliru." Anies benar. Dan Raja Juli Antoni silap.
Raja Juli Antoni dibekap mis-perspektif akut tatkala menyatakan masjid hanya sebagai tempat untuk menunaikan ibadah ritual kepada Sang Khalik—walau saya sendiri kurang yakin mengingat latar belakang Raja Juli Antoni yang pernah mengepalai Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM).
Kita tahu persis, IPM adalah organisasi yang memiliki tradisi masjid yang begitu kuat. Di IPM, masjid tidak saja menjadi wahana berserah diri tetapi juga episentrum untuk menyemai peradaban. Dakwah pencerahan digerakkan dari sini. Training-training keislaman dan kepemudaan digelar di tempat ini.
Sekali lagi, mungkin Raja Juli Antoni silap belaka dalam memahami fungsi masjid sebagai arena untuk mempercakapkan politik dalam konteks narasi-besar kebangsaan.
***
Telah lama, terhitung sejak Snouck Hurgronje memacak agenda depolitisasi terhadap Islam, berkecamuk dalam pikiran kita soal haramnya menjadikan masjid sebagai arena yang terbuka, public sphere, di mana di situ semua orang bisa mendiskusikan apa saja.
Padahal, dahulu rancangan pemisahan masjid dari aktivitas politik adalah proyek kolonialisme. Sebuah taktik yang dilancarkan oleh Belanda untuk mengukuhkan kaki penjajahan di Indonesia.
Snouck Hurgronje yang curiga dengan efektivitas masjid sebagai pusat anak bangsa untuk melancarkan perlawanan terhadap Belanda kemudian melakukan deradikalisasi terhadap masjid. Masjid diungsikan dari politik. Fungsinya dikerdilkan sekadar sebagai tempat untuk salat.
Akibatnya apa? Umat kehilangan tempat untuk menggalang konsolidasi, juga merumuskan pikiran-pikiran strategis bagi upaya pemerdekaan negara-bangsa. Setiap kegiatan untuk menghela percakapan tentang situasi yang dialami negara-bangsa ke dalam masjid, akan selalu dipandang mengotori kesucian tempat ibadah itu.
***
Di masa Nabi Saw., masjid tidak saja menjadi tempat untuk menjalankan ibadah atau menyebar misi Islam. Masjid juga sekaligus menjadi titik pijak untuk men-develop peradaban Islam. Artinya semua aspek kehidupan, baik itu ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya, dan ilmu pengetahuan ditenun dari satu sumber bernama masjid.
Bahkan peperangan—sebagai ikhtiar untuk mempertahankan atau melakukan ekspansi terhadap peradaban Islam—itu diledakkan dari masjid.
Inilah sebenarnya yang hendak direfleksikan kembali oleh Anies: Bagaimana menjadikan masjid selayaknya di masa lampau. "Masjid merupakan ruang untuk membahas keadilan, menyampaikan pesan-pesan kehidupan yang mencerahkan, serta menjadi pusat peradaban," tegas Anies.
Saya kira, Anies tahu betul perihal ini. Pun menghitung secara cermat langkahnya. Di tengah melemahnya kekuatan oposisi atau penyeimbang terhadap rezim yang tengah berkuasa, kehadiran masjid sebagai arena percakapan publik seolah menjadi oasis—pelepas dahaga di tengah puasa.
Tentu kita sadari situasi hari-hari ini: Partai politik habis ditekuk, kritisisme dimatikan, pers dibuat tak bisa banyak berucap, dan gerakan civil society kehilangan taring. Bahkan ada indikasi otoritarianisme ala Orde Baru kembali bangkit.
Kehadiran masjid, dalam pandangan Anies, bisa menjadi alternatif di tengah kemandekan demokrasi. Masjid bisa menjadi suara lain kala semua elemen membeo terhadap kekuasaan.
Kita pasti saja keberatan jika masjid dijadikan sebagai arena untuk mempertukarkan suara saat pemilihan. Dengan kata lain, masjid sedikit pun tak boleh diceburkan dalam pertarungan politik praktis. Tetapi fungsi masjid dalam menjalankan agenda politik nilai harus terus di tandu.
Masjid harus berjarak dengan kekuasaan. Dan, bila dibutuhkan, sekali-kali berani 'turun tangan': Menggebuk kekuasaan.
(11 Maret 2025)
0 Viewers
0 Comments
Posting Komentar