Sejumlah sinisme tertuju pada Rocky Gerung—filsuf yang lagi populer itu: “Akh, dia hanya pandai bermain kata.” Itu sering menggelegak di telinga saya.

Saban hari, saya yang mendengar itu hanya membatin: Duhai, tuan dan puan! Lupakah kalian bahwa negeri ini didirikan oleh kata-kata. Lupakah kalian bahwa ada banyak revolusi, ada banyak kemerdekaan di suatu negeri, yang itu tegak karena sihir kata-kata.

Soekarno menggelorakan api perlawanan terhadap penjajah dengan kata-kata. Soekarno menghimpun energi dan kemarahan bangsa melalui kata-kata. Dari ujung bibirnya bergema satu seruan: “Usir penjajah dari bumi pertiwi, tanah tumpah darah kita.” Dan lihat hasilnya: Dengan tangan terkepal, bambu runcing yang menyalak, kaum republik memberondong para penjajah.

Lihat pula bagaimana seorang tua berjubah hitam bernama Ayatullah Khomeini memimpin aksi penggulingan rezim despotik Iran, Syah Pahlevi, hanya dengan kata-kata—aksi penggulingan yang itu menandai terjadinya revolusi dan berdirinya sebuah negara Islam di tanah Persia. 

Ayatullah Khomeini bisa diasingkan, tetapi kata-katanya menggelegar di bumi Persia; menghunjam sanubari dan kesadaran setiap warga Iran. Dari kelembutan tutur katanya menjalar sebuah kekuatan maha dahsyat: Masyarakat tumpah ruah di jalan; tidak anak-anak, tidak ibu-ibu, tidak bapak-bapak, berdemonstrasi berhari-hari, berbulan-bulan hingga tahun, meneriakkan yel-yel kematian untuk rezim Syah Pahlevi. Mereka dengan dada membusung dan kepasrahan yang tiada ternilai, menyerahkan nyawanya untuk sebuah perubahan. 

Dan sebagaimana kita saksikan: Tanggal 11 Februari 1979 revolusi itu mencapai puncaknya. Ayatullah Khomeini dengan kata-katanya membuka jalan lempang bagi kembalinya kaum ulama ke gelanggang politik kekuasaan.

Atau Che Guevara, sang revolusioner itu. Bertahun-tahun ia berkeliling Amerika Latin. Di setiap sudut ia temui kaum papa; kaum tertindas, di situlah api kemarahan ia nyalakan kepada penguasa. Che Guevara adalah sosialis sejati. Kemarahannya akan tumpah ruah bila melihat ada kemiskinan, buruh yang mengalami ketidakadilan atau pemimpin yang bermewah-mewahan di tengah ladang kesengsaraan rakyat. 

Di Kuba, ketika bertemu dengan Fidel Castro, mereka berkomplot untuk menggulingkan kekuasaan Batista. Dengan dukungan dari rakyat dan taktik gerilya, akhirnya mereka berhasil memenangkan pertempuran itu. Fidel Castro berkuasa, dan Che Guevara—sesaat bergabung—lantas kemudian pergi: Melanjutkan langkahnya untuk menggelorakan perlawanan kepada setiap rezim yang culas.

Di akhir hayatnya, Che Guevara dihukum mati sebagai seorang revolusioner yang kata-katanya amat ditakuti.

***

Rocky Gerung memang lihai memainkan kata-kata. Setiap ia berucap, itu tidak saja berarti ia sedang mengisahkan kebenaran atau mendalilkan sebuah argumen, tetapi tengah memamerkan keindahan diksi. Bukankah hidup tidak sekadar benar-salah? Tetapi juga menyangkut bunga Mawar yang sejuk dipandang dan drama Korea yang menarik untuk ditonton.

Kata-kata adalah puisi.

Saya tak benar-benar bisa memahami kenapa masih ada yang menaruh kebencian kepada kata-kata. Padahal kerja-kerja untuk melahirkan kata-kata bukanlah kerja yang gampang. Bukan sesuatu yang dilahirkan satu malam—laksana lagu itu.

Kerja-kerja melahirkan kata-kata bahkan jauh lebih berat dari slogan: “Yang penting itu: Kerja...Kerja...Kerja...” yang selalu dikhotbahkan oleh Bapak itu (ayah Gibran).

Di bilik terdalam, kerja-kerja melahirkan kata-kata adalah kerja-kerja kontemplatif. Permenungan. Para penguar kata-kata dituntut untuk menyelami setiap relung kehidupan untuk kemudian dicecap maknanya. Mereka percaya bahwa di kedalaman labirin penghayatan selalu ada kebijaksanaan yang terbit. 

Inilah yang menyebabkan kenapa para penguar kata-kata tampak tenang dan tidak mudah tersulut emosi ketika diserang atau mengalami ancaman kekerasan fisik. Lihatlah bagaimana silang antara Rocky Gerung dengan Silfester Matutina di acara debat di salah satu stasiun televisi. Ketika mendapat ancaman serangan secara fisik, Rocky Gerung hanya tersenyum pahit. Sebuah senyum yang menyiratkan bahwa kedunguan bukanlah lawan yang setara dengannya; bahwa di tengah kemajuan teknologi super-canggih kiwari ini masih sahaja ada manusia yang hidup dengan menenteng tabiat para kaisar di masa lampau.

Sementara di panggung luar, di altar diskusi atau ceramah, para penguar kata-kata dituntut tidak hanya sekadar menjulur wicara, mengajukan fakta atau memberi judgement terhadap sebuah perkara, tetapi juga menghipnotis audience. Penguar kata-kata yang hebat adalah mereka yang bisa memberi petunjuk, kesadaran, dan melecut histeria massa secara sekaligus. 

Penguar kata-kata bukanlah pewicara biasa. Bukan pula pengkhotbah program P4 di masa lalu yang menjemukan itu—dan setiap usai bicara yang tersisa pada mereka yang ikut penataran bukanlah rasa nasionalisme, tetapi ketakutan. Atau pidato basa basi para pemimpin daerah yang berakhir dengan tepuk tangan bergemuruh dari pendengar.

Penguar kata-kata adalah mereka yang terbiasa berbicara tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan sama mendalamnya. Mereka terbiasa menyelisik peristiwa masa lampau sebagai pelajaran untuk masa depan—dan lewat keindahan diksi, itu mereka cangkokkan pada kesadaran warga.

Sekali lagi, ini tidak mudah, tuan dan puan!

Jadi berhentilah mengutuki kata-kata—dan penguarnya.

(2 Februari 2025)

0 Viewers