Beredar tagar Kabur Aja Dulu. Ini dipekikkan sejumlah anak muda, dan kelas menengah pekerja yang tidak puas mengayuh hidup di Indonesia. 

Munculnya tagar ini bukan tanpa alasan. Pertama, rendahnya upah yang diterima selama ini. Bila dibandingkan dengan negara-negara lain, memang upah yang diterima oleh para pekerja di Indonesia adalah yang paling kecil. 

Berdasarkan data Ceoworld, Indonesia berada pada peringkat ke-120 dari 196 negara di dunia untuk rata-rata upah bulanan bruto. Di kawasan ASEAN, Indonesia berada diurut ke-5 terendah. 

Artinya ada problem kesejahteraan yang membelit kelas pekerja kita. Dan ini bukan baru sekarang sahaja. Telah lama diratapi oleh mereka. Pilihan memeras keringat ke luar negeri adalah upaya untuk memperbaiki nasib. Hidup di Indonesia ibarat bertaruh di meja judi. Kalau bukan menang, pasti kalah. Tak ada kepastian untuk terus memenangkan harapan dan masa depan. 

Kedua, ada kesenjangan yang menganga lebar. Indonesia memang bukan negara terbelakang, tetapi ada problem yang menyakitkan bagi masyarakat. Di satu sisi, mayoritas masyarakat kita hidup dalam kesengsaraan yang tiada tara sementara di sisi lain, ada sebagian kecil dari elite negara ini hidup bertabur kemewahan.

Inilah sebenarnya yang membuat kita kadang meradang. Sumber Daya Alam (SDA) berlimpah yang dikandung bumi pertiwi ini hanya dinikmati oleh segelintir orang. Ada satu atau dua orang yang biaya makannya dalam sehari bisa untuk menghidupi satu rumah tangga dalam setahun.

***

Sialnya, tagar Kabur Aja Dulu ini direspons secara berlebihan oleh pemuka negeri ini. Bahlil Lahadalia (Menteri ESDM) misalnya, menyatakan ragu terhadap nasionalisme mereka yang meninggalkan negeri ini karena dalih tak mendapat upah yang layak.

Senada dengan Bahlil, Immanuel Ebenezer, Wakil Menteri Tenaga Kerja, mengumpat para tenaga kerja kita yang lebih memilih bekerja di luar negeri. Ia, seperti dikutip Tempo (17/02/2025), mempersilakan Warga Negara Indonesia (WNI) yang ingin pergi dari Indonesia. Namun, ia mengimbau agar WNI yang telah pergi untuk tidak kembali lagi ke Indonesia. "Mau kabur, kabur aja lah. Kalau perlu jangan balik lagi," kata Ebenezer.

Atau Luhut Binsar Panjaitan (Ketua Dewan Ekonomi Nasional) ketika menggelombang demonstrasi bertajuk "Indonesia Gelap" yang digelar oleh sejumlah mahasiswa mengonternya dengan statement: Kamu yang gelap.

Pernyataan para pemuka negeri ini perihal nasionalisme tampak diletakkan secara salah kaprah. Alih-alih memahami hakikat nasionalisme, mereka justru hendak menjadikan nasionalisme sebagai buldoser untuk mendisiplinkan warga. Mereka hendak memukul kenyataan pahit yang mendera para pekerja sehari-hari dengan kisah luhur tentang nasionalisme. 

Padahal nasionalisme bukanlah ideologi yang berdiri sendiri. Ia dibangun di atas imajinasi, cita-cita kolektif, dan jejak panjang perjuangan sebuah bangsa. Nasionalisme adalah asa bangsa. Dengan kata lain, nasionalisme merupakan sebuah proses, sebuah ikhtiar yang tak berkesudahan. Bukan sesuatu yang final. Di bagian akar, ada keadilan dan kemakmuran yang membuatnya bisa terus menjulang, sementara di bagian atas ada rasa bangga sebagai sebuah bangsa yang dilahirkannya. 

Keadilan adalah sebuah perasaan; sebuah kondisi, di mana semua anak bangsa diperlakukan secara setara (equal). Mereka hidup dalam sebuah sistem yang menjamin keseimbangan pemenuhan hak dan kewajiban. Terhadap keringat yang menetes ada upah sebanding yang mereka terima. Tak ada pihak yang mereguk surplus value secara berlebihan—sebagaimana sering kita temukan dalam praktik kapitalisme ekonomi. 

Keadilan adalah posisi sekaligus sikap negara. Artinya, ia tercermin dalam tindak penyelenggaraan negara. Sebuah negara yang di dalamnya KKN menggurita, oligarki berkuasa dengan leluasa, politik adalah milik elite, dan demokrasi diteror, adalah lahan tandus bagi persemaian nasionalisme. Nasionalisme tak dapat membiak di negara demikian. 

Sementara, kemakmuran sebagai buah dari keadilan adalah terdistribusikannya seluruh hasil kekayaan negara secara proporsional kepada masyarakat. Di negeri yang berlimpah SDA ini, cerita tentang kemakmuran seharusnya tak lagi sekadar menjadi cita-cita, bahan pidato retoris para pemangku pemerintahan, atau janji kampanye setiap lima tahunan, tetapi sudah mewujud kenyataan. 

Bila dibandingkan dengan negara semisal Singapura (yang kekayaan SDA-nya tidak seperti Indonesia), Indonesia adalah paradoks. Anomali. Adalah menggelikan, Singapura yang denyut nadi kehidupan ekonominya hanya bersandar pada sektor jasa menjadi lebih makmur bila dibandingkan dengan Indonesia yang mempunyai segala-galanya. 

Keadilan dan kemakmuran, sekali lagi, adalah nyawa nasionalisme. Nasionalisme hanya bisa tegak jika keduanya ada. Sebaliknya, tanpa keduanya, nasionalisme tidak lebih dari sekadar pepesan kosong. Sebuah dogma yang tak berpunya makna apa-apa di hadapan khalayak ramai. 

Inilah yang luput dari benak para pemuka negeri itu. Bahwa seruan untuk mencintai Indonesia; menjadi nasionalis, tidak akan bisa mengikat kaki kesadaran masyarakat—terutama para pekerja itu—tanpa dibarengi dengan adanya keadilan dan kemakmuran. 

Buat apa bertahan di negeri sendiri, jika keadilan jauh dari kita dan kesejahteraan hanya mimpi belaka, kata para pekerja.

Para pemuka negeri ini harus tahu bahwa langkah kecil untuk menegakkan keadilan dan memenuhi hajat hidup rakyat kebanyakan jauh lebih memberi dampak ketimbang berjuta-juta kali khotbah tentang nasionalisme yang dijajakan. Nasionalisme adalah soal amal perbuatan; laku, bukan sekadar epos yang dituturkan.

Pelajaran tentang nasionalisme harus dimulai dengan ikhtiar untuk memperbaiki tata kelola negeri ini. Banyak bolong yang terbiarkan selama ini harus ditutupi. Inilah gelap yang dimaksud oleh para mahasiswa.

Pertumbuhan ekonomi yang diklaim melaju signifikan harus mewujud pada kesejahteraan rakyat. Pemerataan menjadi agenda yang mendesak untuk ditunaikan. Rakyat tak boleh menderita di negerinya sendiri. Sebab, inilah yang menjadi musabab mereka meninggalkan Indonesia. 

Keadilan harus dirasakan semua orang. Oligarki ekonomi dan politik yang selama ini menjadi biang keladi kemerosotan negara harus diakhiri. Tak boleh ada ruang lebih lagi yang diberi untuk mereka. Supremasi hukum harus ditegakkan. Hukum harus menjadi milik semua. Tak boleh lagi terdengar suara berisik, "Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas."

Harus ada jaminan, Indonesia bisa menjadi rumah yang nyaman bagi semua. Dengan cara ini, tanpa diminta pun, nasionalisme akan terbit dengan sendirinya. Semua anak bangsa akan mencintai negeri ini—dengan darah dan air mata.

(27 Februari 2025)

0 Viewers