Bagaimana para tokoh bangsa di masa lampau memandu jalannya republik ini?

Ada yang ironis dari apa yang kita saksikan hari-hari ini: Intelektualisme kian tersingkir dari panggung politik kekuasaan. Dari sejumlah pilkada yang kemarin digelar kita mendapat kabar yang (semakin) tak baik bagi masa depan demokrasi di republik ini. 

Kontestasi pilkada tak lagi mensyaratkan intelektualisme sebagai parameter dalam menilai pantas tidaknya seseorang menjadi pemimpin. Proses pemilihan di republik ini kini adalah soal uang. Siapa yang memiliki modal finansial yang cukup, ia-lah yang paling berpeluang memimpin negeri ini di berbagai level. 

Padahal, kita tahu persis republik ini dibangun oleh gagasan; oleh mimpi besar, sejumlah founding father di masa lampau. Jadi fondasinya adalah intelektualisme, bukan uang. 

Mari kita lihat: Soekarno bukan saja orator yang ulung—sebagaimana umum kita kenal—tetapi juga adalah penulis yang solid. Ia adalah intelektual yang komplit. Tahun 1930, ketika ia ditahan oleh Belanda karena berbagai aktivitas politiknya di Perserikatan Nasional Indonesia (PNI), Soekarno menyusun pleidoi berjudul Indonesia Menggugat. Di pleidoi itu ia sudah menulis tentang kejahatan kolonialisme asing dan keharusan Indonesia untuk merdeka. 

Pleidoi sejumlah 135 halaman itu—setara dengan buku—ditulis dengan kecakapan yang tiada tara. Sebuah catatan yang menandai bahwa penulisnya pasti adalah seorang pemimpin dengan kandungan intelektual yang bukan kaleng-kaleng. 

Muhidin M. Dahlan ketika menceritakan ini berujar, “Jangan dibayangkan bahwa pleidoi Soekarno ini ditulis di kamar hotel mewah (dengan perkakas serba mahal) melainkan dari sebuah bilik penjara yang sempit—kalau tidak salah ukuran: 1,5 x 2,5 m.” Soekarno menulis pleidoi itu di toilet penjaranya yang dilapisi di bagian atasnya sehingga permukaannya rata untuk digunakan. 

Soekarno juga adalah esais ulung. Dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi (jilid I dan II) yang merupakan kumpulan tulisan dan pidato itu, tampak kepiawaian Soekarno dalam mendedah berbagai persoalan. Bahkan pada jilid I, konsepsi tentang penggabungan antara nasionalisme, agama, dan marxisme (nasakom) yang populer hingga sekarang, itu diperkenalkan oleh Soekarno dan menjadi pembuka tulisan.

Atau Moh. Hatta, yang ketika ditahan di Belanda—tepat di jantung negeri penjajah—dua tahun sebelum Soekarno di bui, justru memekikkan perihal yang sama. Pleidoi Hatta yang dibacakan pada 9 Maret 1928 di Pengadilan Den Haag yang diberi judul Indonesia Merdeka sudah bicara tentang imajinasi sebuah bangsa yang terlepas dari belenggu kolonialisme.

Hatta—sebagaimana Soekarno—adalah intelektual yang gigih. Kedisiplinan Hatta dalam menulis bahkan jauh melebihi Soekarno. Kita masih ingat betul bagaimana Hatta ketika kembali dari Belanda, juga diasingkan ke Boven Digoel, membawa serta bukunya sejumlah 16 peti. 

Buku-buku itu menjadi ‘kawan perjalanan’ Hatta dalam mengawal setiap etape perjuangan bangsa. Dari buku-buku itu Hatta memperkaya pengetahuannya—tetapi tidak sekadar berhenti sebagai intellectual exercise melainkan bagaimana pengetahuan itu didedikasikan untuk menyongsong kemerdekaan bangsa. Jadi bagi Hatta, pengetahuan yang dimiliki seseorang mestilah berorientasi pada pemenuhan cita-cita bangsa. 

Titik pijak Hatta persis seperti apa yang diutarakan Antonio Gramsci. Gramsci membagi intelektual menjadi dua: Pertama, intelektual tradisional. Intelektual tradisional adalah intelektual yang menujukan pengetahuan untuk kepentingan diri. Di sini berjejer para guru, dosen, pemikir, pemimpin institusi, yang dengan pengetahuannya berupaya melanggengkan status quo. Mereka tidak tahan menderita, dan oleh karena itu tak bisa diharapkan untuk tampil membela kepentingan rakyat. Mereka cenderung membeo terhadap kehendak penguasa. 

Kedua, intelektual organik. Intelektual jenis ini adalah mereka yang berdiri untuk kepentingan bangsa; kepentingan yang jauh lebih mulia: Di mana ada kebenaran di situ mereka berpacak. Mereka turun dari puncak menara gading sekolah, kampus, dan institusi tertentu untuk membangun kesadaran dan keberdayaan massa.

Di masa Hatta berjuang, ada banyak kaum intelektual yang demi hasrat kekuasaan dan kemewahan menjadi kaki tangan penjajah. Kendatipun itu harus menindas bangsanya sendiri. Hatta memilih jalan berbeda. Ia menjadi intelektual organik, yang melawan segala bentuk penjajahan, bahkan dengan risiko kehilangan nyawa sekalipun. 

Jadi, dari sedikitnya, Soekarno dan Hatta kita menjadi tahu apa sesungguhnya yang dijadikan sebagai bahan asuh bagi perjalanan bangsa. Belum lagi kita bicara tokoh yang lain. Semisal Moh. Natsir atau Buya Hamka yang mewakili kaum islamis. Atau ambillah yang paling ekstrem sekalipun D.N. Aidit: tokoh PKI. Aidit dengan segala kontroversinya bagaimanapun harus diletakkan sebagai pemimpin yang hendak memandu jalannya bangsa ini dengan intelektualisme. 

Aidit menulis banyak persoalan bangsa. Pandangan-pandangannya itu kemudian dikumpulkan menjadi buku yang diberi judul Pilihan Tulisan (I dan II). Sebesar apa pun tembok penghalang antara kita dengan gagasan-gagasan Marxisme-Leninisme—ajaran yang diimani Aidit—tapi ia paling tidak menawarkan alternatif ideologi untuk Indonesia. Ia tahu Indonesia harus seperti apa. Ketimbang banyak tokoh yang hanya bisa plonga-plongo di depan layar kaca.

Mereka, para pemimpin di masa lampau, malah memiliki koran masing-masing. Di situ mereka bersilang pendapat; beradu argumentasi. Setiap persoalan dan rancang masa depan bangsa dipercakapkan dengan bertumpu pada basis intelektual yang kuat. Dengan kata lain, intelektualisme menjadi panglima bagi perencanaan kehidupan bangsa. Bukan otot. Pula uang.

(27 Januari 2025)

0 Viewers