Siapa yang percaya bahwa ekspresi gagasan-gagasan kita, pikiran-pikiran kita, tulisan-tulisan kita, murni dipengaruhi oleh sumber bacaan kita?
Sumber bacaan itu bisa berupa: teks-teks buku, majalah, koran, internet; mentor kajian, guru, dosen, dan lain sebagainya.
Saya orang yang percaya bahwa lingkungan sosial seseorang turut mengonstruksi gagasan-gagasan seseorang, pikiran-pikiran seseorang, atau tulisan-tulisan seseorang.
Inilah sesungguhnya sumbu yang membedakan kenapa warna sastra Pram menjadi berbeda sekali dengan Eka. Mereka mewakili dua lingkungan sosial dan sejarah yang berbeda.
Pram, karena hidup di zaman Orba—sebagai tahanan bertahun-tahun; diburu aparat, tidak saja dirinya tapi juga keluarganya—mengembangkan kritik yang terbuka terhadap rezim. Ia mewakili kemuakan, juga nestapa, jutaan orang atas perlakuan Orba. Sastra Pram adalah sastra yang berlumur darah dan air mata.
Di buku “Pram Melawan!” (suntingan Rheinhardt, dkk) terang sekali apa sastra dalam pandangan Pram. Buku Pram Melawan! ini berisi napak tilas atas kehidupan Pram, wawancara dengannya, juga testimoni keluarga dekatnya tentang Pram.
Hampir bisa dikatakan, lebih dari separuh kehidupan Pram adalah nestapa. Di masa dewasa, ia pernah ditinggal istri (pertamanya) hanya karena alasan ekonomis. Dibui. Juga dihujat dimana-mana. Hampir semua saudaranya (yang lelaki) dipenjara. Bahkan, salah satunya, mengalami gangguan jiwa.
Selepas dari Pulau Buru, sebagaimana penuturan anak pertamanya (dari istri kedua: Maemunah Thamrin), Astuti Ananta Toer, terjadi perubahan perangai yang drastis pada diri seorang Pram. Betapa penjara kemudian bisa mengubah banyak hal pada diri seseorang. Astuti, tercatat, satu-satunya anak Pram yang dekat dan bisa berkomunikasi baik dengannya.
Oleh karena itu, kala Goenawan Mohamad (GM) menulis surat terbuka kepada Pram, yang berisi kekecewaannya terhadap Pram karena menolak permintaan maaf negara (era Gus Dur) atas kesalahan masa lalu, saya menjadi memakluminya.
Tak mudah memang melupakan penghukuman dan derita yang kita alami atas kejahatan yang tak pernah kita lakukan—atau dibuktikan secara sah.
Mari kita kutipkan kata-kata GM:
“Maaf bukanlah penghapusan dosa. Maaf justru penegasan adanya dosa. Dan dari tiap penegasan dosa, hidup pun berangkat lagi, dengan luka, dengan trauma, tapi juga harapan. Dendam mengandung unsur keadilan, tapi ada yang membedakan dendam dari keadilan. Dalam tiap dendam menunggu giliran seorang korban baru” (Setelah Revolusi Tak Ada Lagi, hal. 19).
Surat itu kemudian dibalas oleh Pram:
"Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan. Dia berharap saya menerima permintaan maaf yang diungkapkan Presiden Abdurrahman Wahid (Tempo, 9 April 2000), seperti Mandela memaafkan rezim kulit putih yang telah menindas bangsanya, bahkan memenjarakannya. Saya sangat menghormati Mandela. Tapi saya bukan dia, dan tidak ingin menjadi dia.”
***
Sementara itu, di sisi lain, Eka hidup dalam lingkungan sosial dan sejarah yang telah berbeda jauh dengan Pram. Boleh dikata, Eka hidup kala Orba telah mulai meranggas. Berada dalam senjakala.
Memang benar, bahwa Eka mungkin saja sempat merasai betapa lalimnya rezim bernama Orba itu. Tapi itu tinggal sekadar ampasnya saja. Eka mungkin pernah bersama-sama mahasiswa lain mempercakapkan rezim ini dengan sendu, melawan, melancarkan demonstrasi, dan mengadu pada Tuhan, tetapi tentu saja itu tak seberapa bila dibandingkan dengan percik-percik penderitaan yang dialami Pram.
Pram adalah wajah kelaliman negara atas anaknya sendiri. Seluruh tubuhnya adalah luka. Dan, nafasnya adalah tragedi.
Tentu ada kesamaan ideologis—atau minimal irisan—antar keduanya. Kita tahu persis Pram pernah memimpin Lekra—lembaga kebudayaan PKI—sementara Eka pernah bergiat di PRD. Corak pandang Marxian atau Sosialisme boleh jadi ada pada mereka berdua. Walau tentu saja asumsi ini perlu dibuktikan lebih lanjut.
Inilah mungkin yang hendak diharapkan oleh Zaid, dalam tulisannya. Terlebih lagi dengan memasukkan Leila S. Chudori dalam dialog-sunyi ini. Kita tahu persis Leila S. Chudori banyak bercerita soal kekelaman di seputar peristiwa G30S/PKI beserta ekses yang ditimbulkannya. Dalam deret yang sama tentu tak lengkap bila kita tak memasukkan Martin Aleida di dalamnya.
Mungkin, Zaid, menaruh ekspektasi yang sama atas Eka. Sesuatu yang juga sesungguhnya (diam-diam) hendak saya titipkan: bagaimana Eka berada dalam front yang terang melawan segala kebusukan. Eka akan bicara kejahatan sebagai kejahatan. Kelaliman sebagai kelaliman. Tegas. Dan tanpa tedeng aling-aling.
Tetapi sebagaimana beber Pram, bahwa Pram adalah Pram, maka Eka juga adalah Eka. Eka tentu saja tak bisa menjadi Pram. Atau dipaksa menjadi Pram. Seberdarah apa pun upaya kita.
Satu yang patut dicatat. Pram telah mengakhiri usia kesastraannya. Ia telah tutup usia. Sementara Eka masih terus berproses menjadi. Wallahu A’lam.
0 Comments
Posting Komentar