Lupakanlah soal pilpres. Pun dengan ribut-ribut soal "bongkar pasang" koalisi. Tak ada gunanya. Mungkin bagi komunitas pegiat politik, ini menarik. Tapi tidak bagi rakyat-kebanyakan (grass roots).
Adakah pilpres ini "dinikmati" oleh rakyat? Adakah ia menjadi semacam karnaval--meminjam istilah Yasraf A. Piliang; moment dimana kita, rakyat Indonesia, bisa menabuh gendang suka-cita, menggantung asa dan menitip mimpi, kelak, di masa akan datang?
Tidak. Jauh di pelosok sana, di desa-desa, pilpres tak ubahnya dagelan politik. Ia tak lebih dari sekadar arena pertarungan elite politik untuk berkuasa, atau mempertahankan kekuasaan. Ini saja. Jangan tanya demi siapa? Dan, sekali-kali, jangan kaitkan dengan rakyat. Sumpah, mereka tidak tahu sama sekali. Di samping itu, mereka memang, benar-benar, tidak mau ambil pusing.
Jadi tidak usah hirau dengan semuanya; dengan embel-embel rakyat, bangsa, umat dan segala turunannya. Yakin saja, ini hanyalah bungkus. Bukan isi.
Jauh di pelosok sana, di desa-desa, rakyat lebih butuh jawaban atas soal-soal: bagaimana komoditi kami terjual dengan harga yang layak, bagaimana akses dan kepemilikan alat produksi bisa ada, bagaimana jika sakit, bagaimana agar anak-anak tidak putus sekolah, dan yang lebih utama lagi adalah: bagaimana dengan kesemua itu kami bisa mencicip kebahagiaan dan kesejahteraan.
Inilah sebenarnya yang lebih dibutuhkan rakyat. Sayang kita tidak menemukan itu dengan pilpres. Kita tidak yakin bahwa pilpres adalah jawabannya.
(9 Agustus 2018)
0 Comments
Posting Komentar